- December 3, 2012
- Posted by: IT DIVISION
- Category: Artikel, Uncategorized
Ada sejumlah metode dalam menentukan nilai sebuah objek. Contohnya, nilai pasar properti. Budi Prasodjo mengakui, definisi nilai pasar adalah estimasi perkiraan sejumlah uang yang dibutuhkan dua pihak, penjual dan pembeli, dalam melakukan transaksi tanpa paksaan.
Untuk mencapai nilai pasar tadi, ada beberapa pendekatan yang digunakan. Salah satunya ialah data pasar. Jadi, seorang penilai harus mengetahui berapa nilai pasar tanah di sekitar lokasi penilaian. Selain itu, bisa juga memakai teknik adjustment, yang merujuk pada satu angka tertentu yang diperkirakan wajar. Pendekatan ini biasanya dipakai untuk penilaian tanah, mesin, kapal, pesawat, dan kendaraan bermotor.
Tapi, Budi menegaskan, seseorang yang berprofesi sebagai penilai publik mesti berdiri di tengah, meskipun jasanya dibayar oleh klien. Ambil contoh, ketika menilai harga pasar tanah milik masyarakat yang akan dibebaskan untuk pembangunan jalan tol. “Seorang penilai tidak boleh menguntungkan pemerintah ataupun masyarakat. Dia harus menilai harga tanah secara wajar berdasarkan penilaian,” imbuhnya.
Awalnya, Budi menerangkan, izin pembinaan profesi penilai diatur melalui Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 161/VI/77 tentang Izin Usaha Jasa Penilai di Indonesia. Sesuai dengan kebutuhan, industri appraisal terus berkembang. Pada 2008, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik. Dalam beleid ini, usaha jasa penilai yang berbentuk perseroan terbatas diubah menjadi kantor jasa penilai publik. Penilai lebih dianggap sebagai pemberi jasa.
Dengan keluarnya aturan main itu, saat ini profesi penilai memiliki dua izin atau lingkup tugas penilaian. Yakni, penilaian lingkup properti dan penilaian lingkup bisnis. Lingkup penilaian di bidang properti antara lain mencakup penilaian objek tanah dan bangunan, baik properti simpel seperti rumah tinggal sampai properti komersial semisal mal, gedung perkantoran, dan hotel. Yang lain adalah penilaian mesin dan peralatan, perkebunan, pertambangan, hutan, kapal, pesawat, serta satelit.
Sementara itu, area penilaian bisnis mencakup penilaian pasar wajar atas aset atau saham perusahaan. “Yang lain adalah penilaian aktiva tidak berwujud seperti nilai merek, hak paten, dan merek dagang,” jelas Budi yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Mappi.
Budi sendiri menekuni profesi penilai sejak 1990. Ia berkisah, awalnya, ia tercemplung di profesi ini karena mengikuti jejak temannya. “Teman saya bilang, dunia penilai berbeda dengan arsitektur yang merupakan disiplin ilmu saya ketika kuliah. Kemudian, saya coba dan akhirnya keterusan sampai sekarang,” katanya.
Bayaran tinggi
Tapi, profesi penilai sempat Budi tinggalkan pada 1997. Di tahun itu, Budi Prasodjo masuk kembali ke dunia arsitektur dan bekerja di perusahaan pengembang Equator Group. Perusahaan ini bermarkas di Surabaya, Jawa Timur. Namun, hanya dua tahun dia berkarier di sana. Tahun 1999, Budi kembali menekuni profesi penilai publik.
Soalnya, Equator Group terkena imbas krisis moneter. Banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja. Cuma, dia melihat temannya yang berprofesi sebagai penilai, masih bisa bekerja. Saat itu, jasa penilai dibutuhkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menilai aset yang akan dijual.
Kini, mayoritas klien Budi merupakan perusahaan besar, seperti Grup Gapura Prima, Grup Pan Asia, Grup Mayapada, BNI, Bank Mandiri, Bank Commonwealth, UOB Indonesia, Grup Lippo, dan Grup Medco.
Selama menjalani profesi penilai, Budi pernah menangani kontrak penilaian dengan imbalan sebesar Rp 700 juta. “Pada 2009, saya ikut tim penilaian aset BPPN sebanyak 700 titik yang tersebar di Jabodetabek. Kontrak itu selesai dalam tiga bulan,” ujar dia.
Menurut Rengganis Kartomo, salah satu pemilik KJPP Rengganis, Hamid & Rekan, profesi penilai memiliki prospek cerah. Sebab, antara jumlah penilai dan kebutuhan yang ada belum seimbang. Saat ini, jumlah penilai di seluruh Indonesia hanya sekitar 3.500 orang.
Dari jumlah itu, penilai berizin atau penilai publik hanya 10% atau 350 orang. Sekitar 85%-nya ada di Jakarta. “Bisa dibayangkan, 350 orang penilai melayani sekitar 250 juta orang di Indonesia. Jadi, potensi profesi ini sangat besar,” ujar Anis, panggilan sehari-hari Rengganis Kartomo yang menekuni profesi ini sejak tahun 1996.
Penghasilan sebagai penilai juga tak kalah menggiurkan. Anis mengungkapkan, penghasilan seorang penilai tidak berdasarkan fee based atau success fee, melainkan berdasarkan masa kontrak kerja. Di Mappi, sudah ada konsensus tarif upah seorang penilai. Tarif jasa penilai muda berkisar Rp 1 juta per hari, penilai madya Rp 2 juta, dan penilai senior Rp 4 juta per hari. Cukup menggiurkan!
Kepala Bidang Usaha dan Penilai Publik, Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan, Dadan Kuswardi menuturkan, profesi penilai bisa dijalani oleh siapa saja yang sudah menyelesaikan pendidikan S1. Untuk bisa menyandang profesi ini perlu mengikuti pendidikan lanjutan dan sertifikasi. “Profesi ini belum banyak dikenal padahal peranannya sangat penting, untuk kredit di atas Rp 5 miliar sekarang harus dinilai penilai,” tuturnya.
Masih sedikitnya jumlah penilai publik dengan latar belakang pendidikan yang tidak spesifik, membuat profesi ini rentan terhadap pelanggaran kode etik. Tercatat selama 2011, ada 17 peniliai publik dikenai sanksi, dua penilai publik dikenai sanksi pembekuan, lima KJPP dikenai sanksi peringatan, 1 KJPP kena sanksi pembekuan, dan 2 cabang KJPP diberi sanksi peringatan.
“Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah melakukan penilaian dengan menggunakan metode yang tidak sesuai. Selain itu tidak mencantumkan persyaratan minimun dari syarat penugasan dengan lengkap,” tuturnya.
Sumber: Kontan, diolah