- June 19, 2012
- Posted by: IT DIVISION
- Category: Berita, Uncategorized
Jumlah penilai publik di Indonesia dianggap masih sangat minim. Dari jumlah penduduk 230 juta, hanya ada 289 orang penilai publik yang berwenang menandatangani penilaian suatu aset.
“Itu artinya, satu penilai publik harus melayani satu juta penduduk,” ujarDirector PT Heburinas Nusantara, Hamid Yusuf, yang juga menjabat sebagai ketua Masyarakat Penilai Publik Indonesia dalam acara sosialisasi Peraturan Menteri terbaru tentang Jasa Penilai Publik di Departemen Keuangan, Senin 27 Oktober 2008.
Idealnya, ujar Hamid, jika melihat perbandingan dengan negara lain maka setiap satu juta penduduk seharusnya ada 10 orang penilai publik. “Di Cina misalnya mereka menempatkan pengelolaan ini langsung dipimpin oleh orang yang jabatannya setingkat eselon I,” ucap Hamid.
Penilai publik ini dianggap sangat penting mengingat keterkaitannya dalam menilai suatu properti, aset atau lainnya. Ia menyontohkan akibat minimnya keterlibatan penilai, di Indonesia sering terjadi banyak sengketa lahan terkait masalah infrastruktur.
Hamid juga berpendapat terkait penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan nilai disclaimer pada beberapa Pemda dan Kementerian-Lembaga, bermula karena banyaknya peraturan yang tumpang tindih. Para penilai Pemda dinilai tidak tepat dalam mengeluarkan neraca terutama yang menyangkut aset yang belum clear. “Banyak di antara aset-aset yang dinilai dikatakan tidak terdata dan legalitasnya tidak benar,” ujar Hamid.
Permasalahan yang terjadi dalam penilaian biasanya karena tidak adanya sertifikat tanah, kemudian spesifikasi atas aset itu tidak jelas. “Namun ditengah ketidakjelasan itu, mereka (para penilai pemda) harus tetap menilai dan laporan itu dicantumkan dalam laporan keuangan,” lanjutnya.
sumber : vivanews