- May 21, 2014
- Posted by: IT DIVISION
- Category: Berita
Beberapa tahun belakangan ini industri properti di Indonesia mengalami masa keemasan, hampir semua pengembang properti selalu laris manis dalam berjualan. Peningkatan jumlah kelas menengah yang sangat signifikan mendorong pertumbuhan properti sebagai alat investasi, mengingat imbal hasil investasi ini lebih menarik ketimbang saham, reksadana, apalagi deposito. Cerita sukses investasi di properti mendorong sebagian besar pemilik uang beramai-ramai berinvestasi di properti, sehingga mendongkrak harga lebih tinggi lagi. Situasi ini mendorong pertumbuhan para pengembang properti pendatang baru yang minim pengalaman, hanya berbekal kursus singkat bagaimana menjadi kaya mendadak dengan usaha di bidang properti. Maklum iklan kursus singkat menjadi pengembang properti dengan bahasa iklan yang bombastis ini marak di media cetak yang bisa kita baca hampir setiap hari.
Ramainya bisnis ini membuat di beberapa tempat harga properti saat ini, sudah bisa dikategorikan tidak wajar, bahkan bisa dikatakan sudah terjadi price bubbling. Bisa dibayangkan sebuah ruko empat lantai laku dijual dengan harga Rp30 miliar, lalu imbal hasil bisnis apa yang bisa cukup memadai dihasilkan dari investasi ini? Bila sekedar disewakan apakah sepadan antara imbal hasil sewa dengan nilai investasi? Mengharapkan capital gain berarti mengharapkan orang lain yang lebih bodoh untuk mengambil alih investasi ini dengan harga lebih tinggi lagi, seperti Ponzi Scheme. Lalu lihat saja apakah saat ini jualan laris manis para pengembang perumahan dan apartemen diikuti oleh kondisi riil bahwa perumahan atau apartemen itu dihuni? Kalau banyak kosong, ini berarti pertanda buruk.
Hal ini membuat pikiran kita menerawang ketika terjadi krisis multidimensi di Indonesia pada kurun waktu 1997-2001, yang dimulai di Thailand sebagai akibat krisis nilai tukar Bath-nya yang didorong oleh property bubble. Krisis itu telah membuat turbulensi pada perekonomian Indonesia. Kita ingat betapa luar biasanya inflasi dan diikuti dengan suku bunga yang melejit sampai 60% lebih, yang pada gilirannya membuat industri properti macet total. Industri properti umumnya akan lebih dulu rontok terdampak oleh krisis, dan celakanya paling belakangan pula untuk pulih kembali.
Hutang para pengembang properti dalam denominasi dollar yang dulu dipuja-puji dan didapat dengan mudah untuk dipakai mendorong pertumbuhan usaha, tiba-tiba dirasakan sebagai bencana dan akhirnya membuat trauma mendalam bagi sebagian besar pengembang properti. Kombinasi pasar yang menyusut tiba-tiba dan beban bunga yang melejit membuat banyak pengembang properti bangkrut, sehingga menyisakan tinggal sepertiganya di akhir krisis pada tahun 2001.
Oleh : Dr. Ir. Edhijanto Widaja, MBA
Sumber : http://www.propertiindonesia.co.id/2014/04/industri-properti-siap-siap-hadapi-turbulensi/