- May 23, 2012
- Posted by: IT DIVISION
- Category: Artikel, Uncategorized
Ada hal menarik dari pengembang senior Trihatma Kusuma Haliman. Chief Excecutif Officer Agung Podomoro ini sangat fokus pada bisnisnya. Ia tidak tertarik merambah ke bisnis lain, misalnya perbankan, industri, ritel atau media massa. Ia pun belum tertarik melebarkan sayap bisnis propertinya ke luar negeri.
Dalam banyak percakapan dengan Trihatma, diperoleh kesan bahwa pria berusi 53 tahun ini benar-benar berkonsenterasi di bisnis properti. Ia mengikuti rapat-rapat ekspose dan pertanggungjawaban proyek. Ia pun tidak sekedar mengarahkan bagaimana sebuah pekerjaan fisik bangunan dikerjakan, tetapi ia turun langsung melihat pekerjaan fisik dan perampungan proyek.
Suatu ketika saya bertanya, kalau tidak ingin merambah ke bisnis lain, baiklah. Akan tetapi mengapa tidak melebarkan sayap usaha ke luar negeri di era serba global ini? Mengapa tidak mencoba berkompetisi dengan pebisnis kelas dunia lainnya di China, Korea Selatan, India atau Indochina?
Jawaban Trihatma sangat menarik. Ia menyatakan, masalahnya bukan soal tertarik atau tidak tertarik. Akan tetapi ia selalu merasa bahwa Indonesia memiliki pasar yang amat luas, yang tiada habisnya digali.
Argumentasi lain, sebut Trihatma, ia lahir dan besaar di Indonesia. Akarnya ada di sini. Ibarat pohon, ia sudah menjadi pohon besar dengan akar yang masuk jauh menyelusup ke perut bumi. Kalau pohon ini dicabut kemudian dipindahkan, harapan untuk tumbuh dan berkembang sangat tipis.
Fokus pada bidang bisnis yang dikuasai juga dilakukan banyak pemain property lain. Grup Pakuwon misalnya, berkonsentrasi penuh pada bisnis yang mereka embank sejak tiga dasawarsa lalu. Pemimpin grup besar yang meraksasa di Surabaya dan Jakarta ini, Alex Tedja sangat fokus pada bisnis yang ia kerjaka. Pilihan inilah yang membuat ia menjadi salah satu pengembang terbaik di Asia Tenggara untuk pusat perbelanjaan. Sejumlah pusat perbelanjaan yang Alex bangun menjadi tonggak, di antaranya Tunjungan Plaza, Royal Plaza, Pakuwon Trade Center dan Supermal (Surabaya). Di Jakarta, proyeknya antara lain Blok M Plaza, dan yang tengah dibangun dua megaproyek, masing-masing di Gandaria dan Cassablanca.
Alex, seperti halnya Trihatma, tipikal pebisnis yang menghindari panggung. Ia bergaul sangat baik dengan kalangan pers, tetapi ia terkesan lebih suka kalau eksekutifnya yang berbicara kepada public. Padahal usahawan ini disukai pelbagai kalangan karena mempunyai pandangan jauh ke depan. Banyak kalangan ingin mendengar pendapatnya, terutama dalam hal kiat bisnis dan cara menyiasati krisis ekonomi. “Saya suka berbicara dengan dia. Pandangannya jauh ke depan, dan sangat focus. Ia tidak merambah ke bisnis yang tidak ia sukai,” ujar advokat dan analis hokum ekonomi Harry Ponto di Jakarta baru-baru ini.
Fokus pada bidang bisnis properti di dalam negeri tidak membuat Alex Tedja dan Trihatma menutup mata dari kemajuan property di luar negeri. Kedua pengembang senior ini justru sangat sering melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melihat perkembangan dunia property. Mereka datang ke negara-negara yang menekankan kreativitas, inovasi dan pikiran-pikiran jernih. Misalnya ke Amerika Serikat, Jepang, China, Perancis, Uni Emirat Arab dan Qatar.
Dari banyak perjalanan itu, mereka memperoleh perbandingan, melihat sisi lain dari pengembang dunia, dan memperoleh energi baru yang membuat pikiran mereka selalu jernih.
Trihatma mengatakan, Dubai di UEA menjadi refleksi luar biasa atas majunya negara-negara Arab. Dubai tidak hanya mampu membangun banyak gedung dengan arsitekrut terbaik, tetapi memindahkan ibukota arsitektur dunia dari Eropa ke Dubai. Para arsitek dan kontraktor terbaik dunia baru merasa “berprestasi” kalau sudah berlabuh di kota tersebut. Dubai satu-satunya kota di dunia yang tanpa hiruk pikuk membangun begitu banyak proyek super spektakuler, misalnya Pulau Palem, gedung tertinggi dunia, mal terbesar di dunia. Semua yang serba kelas dunia ada di kota berpenduduk satu setengah juta jiwa itu.
Indonesia mempunyai potensi besar untuk memiliki banyak proyek bermutu sebagaimana tampak di Dubai, Qatar, Tokyo atau San Fransisco. Oleh karena itulah banyak pengembang yang berkonsentrasi di Indonesia sambil terus meningkatkan kemampuan. Kompetisi bisnis property di dalam negeri kini makin keras, acap melewati tebing curam dan dalam.
Dalam kondisi krisis ekonomibseperti sekarang, bekerja sangat efisien serta focus pada bisnis inti sungguh merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar. (Abun Sanda/ Kolom Properti/ Kompas/9/1/2009).