- September 13, 2012
- Posted by: IT DIVISION
- Category: Artikel, Berita, Uncategorized
Kegiatan penilaian publik sejatinya telah menjadi nafas pekerjaan utama bagi seorang profesi penilai. Hal ini cukup wajar karena untuk bisa melakukan pekerjaan tersebut seorang profesi penilai harus memenuhi beragam persyaratan terkait pendidikan, sertifikasi, hingga perizinan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan.
Dengan kenyataan itu, tentunya tidak semua pihak atau lembaga yang diperbolehkan atau mampu melakukan kegiatan penilaian publik yang memang menjadi tugas dan wewenang profesi penilai.
Namun dalam kenyataannya, sejumlah lembaga ternyata memilih melakukan sendiri atau bisa dibilang meng-handle pekerjaan profesi penilai, dengan melakukan penilaian sendiri sebuah objek yang berhubungan dengan publik.
Seperti yang terjadi saat ini, dimana kalangan profesi penilai dihadapkan pada kenyataan bahwa pekerjaan penilaian publik juga dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Langkah itu didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No.13 tahun 2010 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak di Lingkungan BPN RI. Dalam beleid tersebut, diatur juga Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada BPN.
Hal ini terungkap saat awal September MAPPI Jatim diundang BPN untuk menghadiri acara Sosialisasi Pemanfaatan Peta Zona Nilai Tanah dan Kawasan di Surabaya. “Saat itu kebetulan saya yang ditugasi untuk menghadiri acara yang juga mengundang perwakilan dari Pemprov Jatim, Pemkab/pemkot, serta asosiasi profesi seperti penilai dan PPAT,” jelas Budi Setyawan, Ketua Program Keanggotaan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) Jatim.
Dalam benak dia, sosialisasi tersebut tak beda dengan sosiaslisasi-sosialisasi lembaga pemerintah atau BPN selama ini terkait peta zona tanah untuk kawasan sesuai fungsinya yang bisa digunakan sebagai acuan untuk besaran pajak bumi dan bangunan (PBB) maupun nilai jual objek pajak (NJOP).
Namun ternyata, lanjut Budi, BPN lebih memfokuskan pada pemaparan soal layanan penilaian yang bisa dilakukan BPN, bahkan telah disiapkan soal tarif jasa penilaian hingga kesepakatan kerja sama (Memorandum of Understanding/MoU) dengan pemerintah daerah terkait pekerjaan tersebut.
“Misalnya dipaparkan juga bahwa untuk Pemetaan Zona Nilai Tanah dan Zona Nilai Ekonomi Kawasan untuk skala 1:10.000, tarifnya Rp. 25.000/hektar, sedang skala 1:25.000, bertarif Rp. 5.000/hektar, dan sebagainya,” jelas Budi.
Dengan penjelasan itu, ia hanya mempertanyakan bagaimana peran profesi penilai jika pekerjaan tersebut juga mulai diincar BPN. Apalagi terkait nilai tanah, karena selama ini pun tak bisa nilai tersebut langsung dipatok sedemikian rupa.
“Memang kami akui bahwa selama ini kalangan penilai di daerah kurang bisa melakukan pekerjaan seperti penilaian PBB dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Namun bukan berarti hal itu lantas dimanfaatkan untuk diserobot,” tegasnya.
Ketua Program Kerjasama Pemerintah MAPPI Jatim, Insulistyono menambahkan, definisi nilai pasar tanah adalah hasil kesepakatan penjual dan pembeli sesuai SPI 2007. Sementara BPN justru sudah mematok nilai tanah sesuai kawasan-kawasan tertentu. Padahal dalam satu zona tidak sama, karena akan melihat lokasi yang bersangkutan. Pasar, menurutnya cukup dinamis dan tak bisa dipatok.
“Sesuai SPI 2007, nilai pasar itu merupakan perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian yang dapat diperoleh daritransaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti antara pembeli yang berminatmembeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan yang penawarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui, dan bertindak hati-hati dan tanpa paksaan. Dan masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimiliki. Artinya tidak bisa kita menentukan nilai sebuah objek,” papar dia.
Karena yang dilakukan BPN tersebut sudah cukup meresahkan para profesi penilai, pihaknya bersama MAPPI Jatim akan menyampaikan keberatan tersebut ke Kemenkeu melalui Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP).
Ketua MAPPI Jatim, Giri Bayu Kusumah menandaskan, program yang ditawarkan BPN tersebut secara umum sah-sah saja mengingat kewenangan BPN adalah memetakan zona tanah di stau wilayah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika BPN menetapkan nilai tanah melalui zona kawasan, bahkan menawarkan jasa layanan penilaian dengan meggandeng pemerintah daerah.
Sementara itu saat dikonfirmasi terkait program sosialisasi PP No.13 tahun 2010 tersebut, pihak BPN mengaku sudah melakukan koordinasi dengan MAPPI Pusat. Dengan klaim semacam itu, mereka menilai bahwa langkah tersebut sudah sepengetahuan MAPPI.
Ketua Umum MAPPI Hamid Yusuf mengaku hingga kini belum pernah diajak bicara atau koordinasi dengan pihak BPN terkait tarif penilaian tanah dan kawasan yang dilakukan BPN. “Saya memang kenal dengan orang BPN tersebut, karena selama ini ditunjuk sebagai yang mengurusi rekanan penilai di BPN. Pernah ada pembahasan dengan BPN tapi terkait peraturan pengadaan tanah untuk ganti rugi,” ungkap Hamid.
Sumber : MAPPI Jatim