- October 28, 2014
- Posted by: IT DIVISION
- Category: Artikel, Berita
Pemerintah mengganggap mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum mulai tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil telah memenuhi asas kepastian, keterbukaan, dan tak berpotensi multitafsir. Karenanya, asumsi pemohon yang menuding ketentuan pembebasan lahan multitafsir dinilai keliru.
“Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 2 Tahun 2012di ruang Mahkamah Konstitusi, Senin (8/9).
Sebelumnya, delapan warga mempersoalkan Pasal 1 ayat (10) UU Pengadaan Tanah terkait ketentuan mekanisme ganti rugi pembebasan lahan yang dinilai multitafsir dan tidak adil. Sebab, faktanya oknum tim penilai pembebasan lahan menghargai rendah tanah dan bangunan. Untuk itu, MK diminta memberi tafsir Pasal 1 ayat (10) UU Pengadaan Tanah agar memberi jaminan atas hak penggantian yang layak.
Mualimin menjelaskan dalam proses pengadaan tanah ada mekanisme musyawarah untuk menetapkan besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian tim penilai. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan besaran ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri hingga kasasi ke MA.
“Tudingan bahwa pemerintah bertindak sewenang-wenang tidak benar dan hanya asumsi para pemohon,” kata Mualimin di hadapan sidang pleno yang diketuai Hamdan Zoelva.
Mualimin menenilai keliru anggapan pemohon mengenai definisi Pasal 1 angka 10 UU Pengadaan Tanah merupakan kemunduran jika dibandingkan ganti kerugian dalam Perpres No. 36 Tahun 2005. Sebab, pemohon hanya menggunakan pendekatan penafsiran gramatikal tanpa mengkaitkan dengan pasal-pasal lain (penafsiran sistematis).
Terkait tim penilai, Menurut dia kinerja, kredibilitas, dan pertanggungjawaban penilai atauappraisal tidak diatur dalam UU Pengadaan Tanah, tetapi diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Karenanya, persoalan itu tidak relevan untuk dimohonkan pengujian.
Salah satu pemohon, Soetopo Ronodihardjo mempertanyakan kredibilitas penilai pengadaan tanah karena sulit dinilai, apakah ada semacam akreditasinya? Misalnya, ada penilai akreditasi A atau B bagi penilai. “Kami (masyarakat) belum pernah tahu bagaimana menilai kredibilitas tim appraisal?”
Mualimin menjelaskan appraisal diatur lewat Peraturan Menteri Keuangan. Perusahaan jasa penilai sudah lazim dipakai oleh lembaga negara. Misalnya, di lembaga perbankan sering menggunakan jasa perusahaan appraisal untuk menilai aset terkait pengajuan kredit.
Dalam praktiknya, lanjutnya, segala hal yang menyangkut hasil kerja tim appraisal diverifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), apakah hasilnya sudah relevan atau tidak? “Nanti peraturan terkait appraisal itu akan kita cantumkan sebagai bagian keterangan pemerintah,” katanya.
Ketua Majelis Hamdan Zoelva meminta para pemohon dan pemerintah untuk menghadirkan saksi atau ahli dalam persidangan berikutnya. Jika tidak, persidangan akan memasuki tahap kesimpulan.
Sumber : www.hukumonline.com