Alasan Perpres Selat Sunda Harus Direvisi

Kementerian Keuangan menilai Peraturan Presiden No 86/2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda menguntungkan salah satu pihak. Untuk itu Kemenkeu mengajukan amandemen Perpres tersebut agar bisa diperbaiki.

Pembangunan jembatan terpanjang di Indonesia itu memerlukan dasar hukum yang kuat. Alasannya proyek tersebut merupakan proyek besar yang memakan waktu lama dalam pengerjaannya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang Brodjonegoro mengatakan dalam Perpers tersebut disebutkan siapa yang bertanggung jawab dalam pengerjaan persiapan pembangunan. Salah satunya adalah pembuatan feasibility study (FS) proyek tersebut adalah Konsorsium Banten-Lampung.

Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan skema pembangunan dengan menggunakan sistem Public Private partnership (PPP) atau proyek kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS), yang diterapkan pemerintah.

“Kami ingin menerapkan proyek dengan skema PPP yang benar artinya proyek ini terbuka luas kepada siapa pun yang mau bidding (penawaran),” ujarnya di DPR, Jakarta, Selasa, 3 Juli 2012.

Menurut Bambang, adanya keistimewaan itu membuat pemerintah terbatas dalam memilih siapa yang nantinya akan merealisasikan pembangunannya. Jika dilakukan secara terbuka, pemerintah dapat benar-benar memilih pemegang tender yang terbaik guna pembangunan mega proyek tersebut.

“Sekarang gini, lebih bagus mana kita dapat peserta dari berbagai macam negara yang memang sudah teruji dibandingkan dengan pemrakarsa yang sekarang pun masih berusaha menggandeng investor, jadi sudah lah,” ujarnya.

Konsorsium Banten-Lampung dalam hal ini mengaku telah menggaet BUMN asal China yang nantinya akan medukung baik pembiayaan maupun konstruksi pembangunan proyek tersebut.

Bambang berpendapat dengan sistem penawaran internasional, pemerintah bisa mendapatkan investor yang lebih baik dibanding China. “Apakah China yang terbaik? Masih ada Jepang, Korea dan yang lainnya,” ujarnya.

Menurutnya dalam memilih investor di proyek negara, pemerintah harus sangat selektif. Untuk itu hasil evaluasi dari pengerjaan proyek-proyek sebelumnya menjadi pertimbangan. Ia mencontohkan proyek 10 ribu mega watt tahap I, yang semuanya dikerjakan oleh China, dari pembiayaan, hingga kontraktor. “Apa yang terjadi, terlambat semua, PLN bingung,” ujarnya.

Untuk itulah pemerintah mempertimbangkan untuk membuat uji kelayakan sendiri (feasibility Study/FS), tanpa ada pemrakarsa si dalamnya. Untuk itu, sebelum memulai FS, Perpres itu harus direvisi.

“Kita udah rapat. Di Kemenko Perekonomian kita sudah usulkan dan setuju semua. Menko yang memimpin rapat, semuanya sudah setuju,” paparnya.

Sebagai pemrakarsa konsorsium tersebut memiliki hak preferensi pada saat melakukan tender. Namun jika FS tersebut dibuat oleh pemerintah, hak tersebut secara otomatis akan hilang. Namun konsorsium tersebut masih dapat mengikuti penawaran tender yang akan digelar pasca FS selesai dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Segala biaya yang dikeluarkan oleh konsorsium untuk membuat pra FS akan diganti oleh pemerintah, atau dibebankan kepada konsorsium yang mendapatkan tender proyek tersebut nantinya.

“Nanti kita perhatikanlah , kita kan kan harus cek juga pra FS-nya apa, apakah Kementerian PU akan mengatakan bahwa pra FS akan sudah sangat membantu pengerjaan FS,” tambahnya.

Sumber : vivanews



www.videobokep18.xyz rentalmobilpontianak www.pornvids.xyz fullbokep
www.videobokep18.xyz rentalmobilpontianak www.pornvids.xyz fullbokep